Minggu, 15 Januari 2017

Kajian Seni Kuliner Islami:
Sate Kerbau Sebagai Bagian Islamisasi Bumi Kudus
Oleh:
Muhammad Miftahuddin
(15010247)
Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran
Yogyakarta

ABSTRACT
Kuliner merupakan sebuah seni yang terbentuk oleh realita masyarakat. Sate Kerbau merupakan makanan khas Kudus yang muncul saat masa Sunan Kudus. Dalam kemuuculannya. Sate kerbau memiliki unsur toleransi yang tinggi terhadap kaum hindu yang memang menjadi mayoritas masyarakat pada saat itu. Kerbau digunakan sebagai penghormatan terhadap kaum hindu yang memulyakan binatang sapi. Sunan Kudus menggunakannya untuk Islamisasi daerah Kudus.

Latar Belakang
            Budaya secara harfiah berarti hal-hal yang berkaitan dengan fikiran dan hasil dari tenaga fikiran tersebut. Budaya identik dengan manusia karena memang sebuah hasil fikiran. Selain sebuah hasil fikiran, budaya juga berfungsi sebagai pembeda bagi manusia, baik antar golongan maupun satu manusia dengan manusia yang lain.[1] Kebudayaan ada bersama dengan adanya manusia berkarya, sehingga menghasilkan produk-produk kebudayaan, baik sifatnya berupa material maupun immaterial. Hasil fikiran dapat berupa bentuk apapun, namun kali ini penulis akan terfokus pada hasil budaya yang terbntuk dalam kuliner. Mengapa kuliner? Karena tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia yang luas ini memilik kuliner yang khas di setiap daerahnya, dan hal ini memperkaya kebudayaan Indonesia sendiri.
            Kuliner sebagai sebuah cipta karya, karsa, dan rasa sebuah kebudayaan. Banyak yang menganggap biasa saja sebuah kuliner yang tersaji, namun sebenarnya setiap masakan memiliki asal usul tersendiri yang juga berinteraksi dengan budaya-sosial-politik pada masa kemunculannya. Inilah yang menjadi titik focus penulis untuk membahas khusus mengenai kuliner. Penulis akan khusus membahas mengenai kuliner khas Kudus, yakni sate kerbau. Deskripsi masalah yang ingin diungkap oleh penulis adalah apa yang unik dari sebuah sate kerbau kudus? Bagaimanakah sejarahnya? Apakah ada kaitannya seni kuliner ini dengan Islam?

Sekilas tentang Kudus
Kudus merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang terletak di daerah Jawa Tengah. Sejarah Islam Indonesia mengkisahkan keunikan Kudus di antara kota-kota lain. Dalam penyebaran Islam Jawa, nama walisongo sangatlah masyhur, dan Kudus menjadi salah satu kota yang menjadi pusat penyebaran walisongo. Keunikannya di sini adalah kudus memiliki dua wali, yakni Sayid Ja’far Sodiq Azmatkhan yang bertempat di bagian Kota Kudus (biasa disebut dengan Sunan Kudus) dan Raden Umar Said yang bertempat di sebalah bagian Utara  Kudus, yakni di gunung Muria (biasa dipanggil dengan Sunan Muria). Pada masa walisongo, masyarakat mayoritas kudus didominasi oleh Masyarakat Hindu. Dimana dalam kepercayaannya, sapi dianggap sebagai hewan mulya yang menjadi jelmaan dewa. Di disilah Sunan Kudus melihat peluang untuk melakukan Islamisasai kepada masyarakat Kudus.
Agama akan mudah diterima oleh masyarakat apabila ajaran-ajaran agama tersebut memiliki kesamaan dengan kebudayaan masyarakat, sebaliknya agama akan ditolak masyarakat apabila kebudayaan masyarakat berbeda dengan ajaran agama. Misalnya mengapa Islam begitu mudah diterima oleh masyarakat Jawa, karena ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh para wali ketika itu bersifat sufistik, cocok dengan kebudayaan Jawa yang memiliki tradisi dan laku kebatinan yang dalam. Ada kesamaan antara ajaran Islam dan kebudayaan Jawa. Dialog antara Islam dan Jawa bisa ketemu karena banyak memiliki kesamaan pandangan tentang kehidupan. Sebaliknya Islam akan ditolak oleh masyarakat. Contohnya Irian. Karena kebudayaan mereka tidak dapat dipisahkan dari binatang babi. Babi, bukan hanya halal dimakan, tetapi juga sumber ekonomi, perangkat penting dalam upacara adat mereka. Sementara Islam mengharamkan babi untuk dimakan dan dipelihara. Di sini dialog antara agama (Islam) dan kebudayaan (Irian) mengalami hambatan, karena perbedaan yang tajam dalam melihat binatang babi.[2]
Sunan Kudus menggunakan metode yang sama seperti yang dilakukan oleh walisongo yaitu akulturasi Islam dengan budaya local.[3] kali ini penulis hanya akan menulis akulturasi yang berhubungan dengan hewan suci hindu yakni sapi. Dalam sejarahnya Sunan Kudus pernah mendatangkan hewan sapi dan mengikatnya di halaman masjid. Dalam kepercayaan hindu, sapi menempati posisi hewan yang dihormati sehingga hanya orang-orang tertentu yang memiliki sapi. Tujuan awal masyarakat datang ke masjid pada saat itu hanyalah untuk menonton sapi yang memang jarang dipunyai itu. Ketika masyarakat telah berkumpul, maka Sunan Kudus mulai menyampaikan wejangan ringan kepada masyarakat. Yang tak kalah menarik adalah Sunan Kudus melarang jamaahnya untuk menyembelih sapi, meski dalam Islam itu dihalalkan.  Dan memang strategi ini termasuk tepat dengan bukti banyak yang masuk Islam dengan metode Islamisasi ini. Sunan Kudus lebih mengedepankan harmoni dan toleransi daripada konflik dalam menyiarkan Islam. Dan adat ini bahkan tetap bertahan hingga sekarang, pada perayaan Idul Adha, masyarakat Kudus tetap tidak menyembelih hewan sapi, kalaupun ada yang berkurban berupa sapi, maka pihak penyembelih biasanya memanggil jagal (tukang penyembelih sapi) dari luar Kudus, dan bukan dari masyarakat sendiri.[4]

Kepercayaan Mengenai Sapi
Gavah visvasyah matarah – sapi adalah ibu seluruh dunia. Sapi dikatakan sebagai ibu dunia karena sapi mampu menghidupi dunia ini, segala yang ada dalam sapi dapat digunakan. Sapi diibaratkan bumi yang siap menghasilkan seperti bumi akan menghasilkan bahan – bahan makanan manusia seperti sayur, buah, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan sapi yang siap menghasilkan susunya setiap hari, susu tersebut di konsumsi oleh seluruh umat manusia di dunia ini. selain itu, sapi juga merupakan wahana Deva Siva yang bernama Nandini, dan sapi juga merupakan hewan peliharaan Avatara Krsna. Oleh karena itu, sudah sepatunya umat Hindu menghormati sapi dan pantang  untuk memakan daging sapi, karena sapi sangat dihormati oleh umat Hindu. Inilah yang melatar belakangi penulis tertarik untuk mengangkan topik ini dalam sebuah paper yang berjudul “Keagungan Sapi dalam Budaya Hindu (Konsep Totemisme dalam Teologi dan Filsafat Hindu).[5]
Sapi memiliki kelebihan dari hewan – hewan lain dan dianggap suci, sapi juga dikatakan bahwa induk atau ibu dari semua hewah yang ada di dunia ini. Sapi banyak memberikan manfaat kepada umat manusia, sapi memberikan susunya kepada manusia dan dikatakan sebagai ibu karena setiap saat memberikan asinya kepada manusia. Selain susunya kotoran dari sapi pun sangat bermanfaat yaitu digunakan sebagai pupuk yang dapat menyuburkan bumi pertiwi. Masyarakat Hindu yang ada di India sangat menghormati sapi, bahkan mereka yang mendalami spritual Hindu amat berpantangan makan daging sapi. Sejak turunnya Avatara Krsna, sapi sudah sangat dihormati. Dalam kitab Purana yang tergolong Visnu Purana atau Satvika Purana disebutkan Krsna sebagai “Gopala” artinya pelindung sapi.[6]
Dalam buku keagungan sapi menceritakan para Gopi sendiri adalah para peternak pengikut Krsna yang mengembala sapi. Sri Krsna sebagai pengembala sapi adalah lambang hubungan antara alam semesta dan segala isinya dengan Tuhan. Sri KrsnaAvatara Tuhan Yang Maha Esa yang berfungsi sebagai pelindung dan pemelihara alam semesta ini. Sedangkan sapi yang digembala oleh Sri Krsna tidak lain adalah lambang alamsemesta ini. Dan para Gopi adalah  manusia pengikut ajaran Veda yang wajib ikut menjaga alam semesta ini untuk kebahagiaan hidup lahir dan bathin. Susu sapi yang di nikmati oleh para Gopi di Brindavana adalah susu lambang dari pada hasil bumi atau hasil alam berupa tumbuh – tumbuhan sebagai sumber makanan utama manusia. Brindavana adalah kerajaan di mana Nanda sebagai raja dan Yasoda sebagai permaisuri. Di kerajaan inilah Sri Krsna waktu kecil dipelihara agar tidak diketahui oleh Raja Kangsa, paman Sri Krsna, yang ingin membunuhnya, karena ada suatu sabda Tuhan bahwa Raja Kangsa akan dibunuh oleh Putra Devaki yang kedelapan. Di kerajaan Brindavana inilah sapi – sapi disayang, dihormati, dipelihara, dengan penuh kasih sehingga menghasilkan susu berlimpah, sumber makanan penduduk. Para Gopi di Brindavana ini adalah rakyat yang tidak berpendidikan tinggi, namun lugu, penuh dengan rasa bakti pada Tuhan, jujur dan tekun merawat sapi – sapi yang dilindungi oleh Sri Krsna. Keadaan para Gopi di Brindavana ini, adalah suatu teladan bagi mereka yang ingin mencapai kesempurnaan hidup lewat jalan bhakti dan pengabdian kepada Tuhan. Pengabdian kepada Tuhan adalah dengan jalan merawat sapi alam semesta ini yang merupakan sember kehidupan semua mahluk.
            Masyarakat Hindu yang ada di Indonesia pada umumnya, khususnya Bali menggunakan sapi sebagai simbol dalam upacara Pitra yadnya yaitu upacara Ngaben yang menggunakan sapi atau lembu menjadi sarana yang sangat penting dalam pembakaran jenazah. Dalam hal ini lembu tersebut adalah lambang alam semesta atau bumi. Akan tetapi didalam kehidupan umat Hindu Bali belum paham akan penghormatan kepada sapi. Banyak umat Hindu yang tidak menghormati sapi seperti pada saat membajak sawah sapi dipukul, ditendang, dipaksa untuk membajak sawah, bahkan lebih parah lagi masih ada yang membunuh sapi dan memakan daging sapi.[7]

Kuliner sebagai Sebuah Seni
Pengertian kuliner adalah hasil olahan yang berupa masakan berupa lauk-pauk, panganan maupun minuman. Kuliner tidak terlepas dari kegiatan masak-memasak yang erat kaitannya dengan konsumsi makanan sehari-hari. Kata kuliner merupakan unsur serapan bahasa Inggris yaitu culinary yang berarti berhubungan dengan memasak. Sedangkan orang yang bekerja di bidang kuliner disebut koki atau chef.[8] Sedangkan untuk definisi seni sangatlah bermacam-macam, namun penulis sepakat dengan definisi seni yang disampaikan oleh Alexander Baum Garton yakni seni adalah keindahan dan seni adalah tujuan yang positif menjadikan penikmat merasa dalam kebahagiaan.[9] Dari sinilah penulis memiliki pendpaat bahwa kuliner merupakan sebuah seni, dimana dalam penyajian setiap olahannya memiliki cara-cara tersendiri. Sehingga penikmat pun akhirnya memiliki kesan keindahan dan kenikmatan sendiri dalam setiap merasakan kuliner.










Sate Kerbau Khas Kudus
Sejarah Sate
Kata "sate" atau "satai" diduga berasal dari bahasa Tamil. Diduga sate diciptakan oleh pedagang makanan jalanan di Jawa sekitar awal abad ke-19, berdasarkan fakta bahwa sate mulai populer sekitar awal abad ke-19 bersamaan dengan semakin banyaknya pendatang dari Arab dan pendatang Muslim Tamil dan Gujarat dari India ke Indonesia. Hal ini pula yang menjadi alasan populernya penggunaan daging kambing dan domba sebagai bahan sate yang disukai oleh warga keturunan Arab. Teori lain mengusulkan bahwa asal kata sate berasal dari istilah Minnan-Tionghoa sa tae bak yang berarti tiga potong daging. Akan tetapi teori ini diragukan karena secara tradisional sate terdiri atas empat potong daging, bukan tiga. Dan angka empat dianggap bukan angka yang membawa keberuntungan dalam kebudayaan Tionghoa.
Dari Jawa, sate menyebar ke seluruh kepulauan Nusantara yang menghasilkan beraneka ragam variasi sate. Pada akhir abad ke-19, sate telah menyeberangi selat Malaka menuju Malaysia, Singapura, dan Thailand, dibawa oleh perantau Jawa dan Madura yang mulai berdagang sate di negeri jiran tersebut. Pada abad ke-19 istilah sate berpindah bersamaan dengan perpindahan pendatang Melayu dari Hindia Belanda menuju Afrika Selatan, di sana sate dikenal sebagai sosatie. Orang Belanda juga membawa hidangan ini dan banyak hidangan khas Indonesia lainnya ke negeri Belanda, hingga kini seni memasak Indonesia juga memberi pengaruh kepada seni memasak Belanda. Sate ayam atau sate babi adalah salah satu lauk-pauk yang disajikan dalam hidangan Rijsttafel di Belanda.[10]

Tentang Sate Kerbau Kudus
            Sate yang terbuat dari daging kerbau. Daging disajikan tidak dalam bentuk biasanya, tetapi daging dipotong dan dicincang halus dan dilekatkan pada batang sate dengan bumbu kecap, kelapa (srundeng) dan kacang, rasanya mirip dengan dendeng. Ada juga yang mengolahnya dengan cara memotongnya kecil-kecil lalu memukul-mukulnya hingga halus lalu dibumbui dan dimasak terlebih dahulu, baru lalu dibakar Begitulah cara mengolah kerbau hingga bisa menjadi sate yang nikmat. Untuk bumbunya, bumbu dari sate ini juga unik. Sate kerbau memakai bumbu kacang seperti sate ayam, tetapi lebih encer. Bumbunya terbuat dari campuran kacang tanah, serundeng, bawang merah, bawang putih, dan kentang yang dihaluskan. Untuk harga satu porsi sate Kerbau berkisar antara Rp15 ribu hingga Rp 20 ribu. Sekarang ssate kkerbau Kudus telah menyebar ke seantero Nusantara dan bahkan hingga ke luar negeri.[11]

Islamisasi Dalam Sate Kerbau Kudus
            Sate Kerbau berbeda dengan kuliner khas Kudus lain, misalnya Soto Kudus dan Lentog Tanjung. Sate Kebo, begitu sebutan dalam Bahasa Jawa-nya, memiliki pesan arif dalam menghadapi perbedaan. Kudus yang terkenal dengan dengan sebutan kota santri ini memiliki cerita panjang mengenai sejarah sate kerbau. Kudus yang kala itu menjadi tempat penyebaran agama Islam, oleh Sunan Kudus dilarang menyembelih daging sapi. Larangan tersebut merupakan simbol penghargaan dan toleransi beragama, sebab sapi dinilai sebagai binatang suci oleh ajaran Hindu sebagai agama mayoritas Kudus sebelumnya.
Penghargaan tersebut lestari hingga kini. Sate kerbau sangat popular dengan cerita historisnya. Terlihat banyak deretan warung yang menyajikan menu khas tersebut. Salah satunya Sate Kerbau 57 yang beralamat di Jalan Kenari Kudus. Warung yang berdiri sejak tahun 1976 ini didirikan oleh Kusrin. Hingga sekarang, warung sate kerbau tersebut masih berjalan dan dikelola oleh anak keduanya yakni Siti Rahmah. Menurut pemilik, keistimewaan sate kerbau, selain karena berbau tradisi, yakni karena di kota lain sulit ditemui sate semacam ini. Oleh karenanya, warung tersebut bahkan pernah  dikunjungi oleh warga luar daerah seperti Jakarta, bahkan Papua. Asrofie Istadie, salah satu penikmat dan pengunjung warung ini mengungkapkan, Menurutnya, Sate Kerbau memiliki rasa dan tekstur daging yang unik dan beda dari lainnya. Mengenai rasa pun tidak kalah lezat dari sate ayam atau kambing. “Apalagi kalau masih hangat, benar-benar keluar rasa daging bercampur rempah. Lezat sekali. Mak Nyuss,” ujarnya dengan gaya khas tayangan kuliner Bondan Winarno.[12]

Penutup
            Kudus punya cerita, dalam kajian akulturasi seni local dan Islam, kuliner juga menjadi bahas perbincangan yang asik. Memang dalam sisi akademisi, Kudus belum begitu kaya seperti halnya Yogyakarta. Banyak hal di Kudus yang masih belum terungkap, sehingga itu menjadikan kegelisahan sendiri bagi penulis yang notabenenya besar di Kudus. Jujur, penulis cukup kesulitan dalam menggali sejarah Sejarah Kudus dalam lingkup pustaka. Terlebih lagi, kajian spesifik seperti kuliner khas Kudus sebagai cipta rasa Islami dalam pandangan sejarah.
            Kerbau merupakan pengganti daging sapi yang dikonsumsi oleh masyarakat kudus. Kebiasaan ini turun-temurun hingga masa kini, bahkan penulis sendiri mengalami hal ini. Dalam kehidupan penulis, tidak pernah menyantap masakan sapi hingga penulis menginjakkan kaki di Yogyakarta. Ketiadaan sate sapi di daerah Kudus ternyata tidak lepas dari unsur Islamisasi Sunan Kudus yang telah berlewat berabad tahun yang lalu. Dalam sate kerbau terkandung rasa toleransi dan harmoni yang indah dengan kaum agama lain selain Islam, karena di situ mengandung penghargaan terhadap hewan suci hindu. Walaupun masyrakat hindu sekarang tidak menjadi masyarakat mayoritas lagi di daerah Kudus, namun adat ini tetap bertahan. Praktek nyata yang terlihat adalah pada saat penyembelihan Idul Adha pun jika ada masyarakat Kudus yang menyumbangkan hewan sapi untuk disembelih, maka haruslah memanggil tukang jagal dari luar daerah Kudus untuk menyembelihnya sebagai pelestarian adat memulyakan hewan sapi ini.



[1] Khadziq, Islam dan Budaya Lokal, Teras: Yogyakarta, 2009, hal. 28-29. Dalam literatur lain juga dijelaskan lebih lengkap mengenai definisi kebudayan, ialah sistem yang terdiri atas ide-ide, gagasan, kelakuan sosial, dan benda-benda kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia untuk mencapai sebuah kemajuan, baik dalam lingkup individu dan kolektif, maupun bentuk yang dimanifestasikan dalam hasil penciptaan manusia. Manusia akan menemukan dan menghasilkan kebudayaannya, ketika masing-masing manusia memainkan peran kratifitasnya untuk mewujudkan apa yang ada dalam fikirannya menjadi alam realitas. Lihat, Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Budaya Lokal: Kearifan dan Akomodasi Islam atas Tradisi Masyarakat, Kalimedia: Yogyakarta, 2015, hal. 134.
[2] Pojka Akademik UIN Sunan Kalijaga, Islam Budaya Lokal, UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2016, hal. 15-16.  
[3] Akulturasi menurut kamus antropologi adalah pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu. Konsep akulturasi terkait dengan proses sosial yang timbul bila satu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing ini lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Dalam konsep akulturasi ini Islam diposisikan sebagai kebudayaan asing dan masyarakat sebagai lokal sebagai penerima kebudayaan tersebut. Lihat, Ibid., hal. 16.
[4] Devi Ciptyasari, http://deviciptyasari.blogspot.co.id/2014/01/sunan-kudus-dan-strategi-dakwah-islam.html, 07 Januari 2014, diakses pada Sabtu, 17 Desember 2016, Jam 10.42 WIB.
[5] Darmayasha, Keagungan Sapi Menurut Weda, Denpasar: Pustaka Manikgeni, 2008, hal. 22.
[6] Ibid., hal. 9.
[7] Ibid., hal. 11.
[8] Riyanto Arudam, http://www.kanalinfo.web.id/2015/07/pengertian-kuliner.html, Minggu, 05 Juli 2015, diakses pada Jumat, 16 Desember 2016, jam 23.00.
[10] https://id.wikipedia.org/wiki/Sate#Asal_mula. Diakses pada Jumat, 16 Desember 2016, jam 23.20 WIB.

Kamis, 17 September 2015



KH. Mu’tashim Billah: Kemampuan Teknis Operasional Syarat Penting Pengelolaan Pesantren
Desember 29, 2014 in Berita Utama, Headline Komentar Dimatikan
Pada hari ke 3 Raker ke-2 Ponpes Assalam Arya Kemuning diisi dengan taushiyah oleh Ust. KH. Mu’tashim Billah (Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran – Yogyakarta). Beliau memaparkan ibrah Sunan Ampel yang mendidik dan mengirimkan santri-santrinya ke seluruh penjuru pelosok nusantara yang dididik dasuh dari penduduk biasa yang dikumpulkan di pondok pesantrennya di Ampel-Surabaya.
Dalam pola ini santri bukanlah “murid” semata bagi guru pengasuhnya, tetapi menjadi orangtua bagi santrinya, hubungan santri dan guru pengasuhnya adalah hubungan orang tua dan anak yang mempersiapkan generasi dakwah untuk menghadapi tantangan dakwah di pedalaman nusantara. Ponpes Assalam menjadi “gambaran masa kini” atas pola pengkaderan dan dakwah dari dan untuk kalangan pedalaman nusantara.
Ust. KH. Mu’tashim Billah menekankan pentingnya kemampuan teknis operasional dalam pengelolaan pesantren. Target pencapaian dalam pengasuhan pesantren adalah penguasaan santri terhadap 3 (tiga) hal ; Al Qur’an, Kitab-kitab yang menjadi khazanah pengetahuan Islam, pengetahuan bahasa Inggris. Untuk mempersapkan pencapaian tersebut maka dilakukan pelatihan 7 (tujuh) hari bagi pengurus untuk meningkatkan kemampuan dasar 3 hal tersebut, untuk membentuk karakter dalam pengasuhan santri, termasuk “outbound” untuk membangun kebersamaan agar para pengasuh/pengurus dapat bekerjasama sebagai tim, pelatihan ditutup dengan renungan malam. Setiap selesai shalat fardhu para peserta pelatihan membaca Al-Quran sebanyak satu juz secara bersama-sama dipandu narasumber sehingga 30 juz dicapai dalam 6 hari pelatihan tersebut, serta menghafal juz 30.
Bagaimana ukuran Kinerja Pesantren ?
a.    Target Pengasuhan santri adalah (1) Penguasaan Alqur’an ; minimum  santri mampu menghafal juz 30 dan membaca Alqur’an dengan bacaan yang benar pada tingkat MTs, (2) Penguasaan kitab kuning ; minimum mampu membaca kitab dengan tulisan tanpa harakat termasuk mampu  membaca terjemahan aksara arab pegon (MTs) dan pada tingkat MA sudah mampu, (3) kemampuan bahasa asing mampu menguasai percakapan bahasa inggris sehari-hari,
b.    Membangun proses pengasuhan yang berperan dalam pembentukan karakter ( character building) serta
c.    Proses pengasuhan yang mendorong kemampuan bekerja secara team, dan
d.    memiliki penguasaan jaringan/network yang kuat.