Kajian Seni
Kuliner Islami:
Sate Kerbau
Sebagai Bagian Islamisasi Bumi Kudus
Oleh:
Muhammad
Miftahuddin
(15010247)
Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan
Pandanaran
Yogyakarta
ABSTRACT
Kuliner
merupakan sebuah seni yang terbentuk oleh realita masyarakat. Sate Kerbau
merupakan makanan khas Kudus yang muncul saat masa Sunan Kudus. Dalam
kemuuculannya. Sate kerbau memiliki unsur toleransi
yang tinggi terhadap kaum hindu yang memang menjadi mayoritas masyarakat pada saat itu.
Kerbau digunakan sebagai penghormatan terhadap kaum hindu yang memulyakan
binatang sapi. Sunan Kudus menggunakannya untuk Islamisasi daerah Kudus.
Latar Belakang
Budaya secara
harfiah berarti hal-hal yang berkaitan dengan fikiran dan hasil dari tenaga
fikiran tersebut. Budaya identik dengan manusia karena memang sebuah hasil
fikiran. Selain sebuah hasil fikiran, budaya juga berfungsi sebagai pembeda
bagi manusia, baik antar golongan maupun satu manusia dengan manusia yang lain.[1] Kebudayaan ada bersama dengan adanya manusia berkarya, sehingga
menghasilkan produk-produk kebudayaan, baik sifatnya berupa material maupun
immaterial. Hasil fikiran dapat berupa bentuk apapun, namun
kali ini penulis akan terfokus pada hasil budaya yang terbntuk dalam kuliner.
Mengapa kuliner? Karena tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia yang luas ini
memilik kuliner yang khas di setiap daerahnya, dan hal ini memperkaya
kebudayaan Indonesia sendiri.
Kuliner
sebagai sebuah cipta karya, karsa, dan rasa sebuah kebudayaan. Banyak yang
menganggap biasa saja sebuah kuliner yang tersaji, namun sebenarnya setiap
masakan memiliki asal usul tersendiri yang juga berinteraksi dengan
budaya-sosial-politik pada masa kemunculannya. Inilah yang menjadi titik focus
penulis untuk membahas khusus mengenai kuliner. Penulis akan khusus membahas
mengenai kuliner khas Kudus, yakni sate kerbau. Deskripsi masalah yang ingin
diungkap oleh penulis adalah apa yang unik dari sebuah sate kerbau kudus?
Bagaimanakah sejarahnya? Apakah ada kaitannya seni kuliner ini dengan Islam?
Sekilas
tentang Kudus
Kudus merupakan salah satu
kabupaten di Indonesia yang terletak di daerah Jawa Tengah. Sejarah Islam
Indonesia mengkisahkan keunikan Kudus di antara kota-kota lain. Dalam
penyebaran Islam Jawa, nama walisongo sangatlah masyhur, dan Kudus menjadi
salah satu kota yang menjadi pusat penyebaran walisongo. Keunikannya di sini
adalah kudus memiliki dua wali, yakni Sayid Ja’far Sodiq Azmatkhan yang
bertempat di bagian Kota Kudus (biasa disebut dengan Sunan Kudus) dan Raden
Umar Said yang bertempat di sebalah bagian Utara Kudus, yakni di gunung Muria (biasa dipanggil
dengan Sunan Muria). Pada masa walisongo, masyarakat mayoritas kudus didominasi
oleh Masyarakat Hindu. Dimana dalam kepercayaannya, sapi dianggap sebagai hewan
mulya yang menjadi jelmaan dewa. Di disilah Sunan Kudus melihat peluang untuk
melakukan Islamisasai kepada masyarakat Kudus.
Agama akan
mudah diterima oleh masyarakat apabila ajaran-ajaran agama tersebut memiliki
kesamaan dengan kebudayaan masyarakat, sebaliknya agama akan ditolak masyarakat
apabila kebudayaan masyarakat berbeda dengan ajaran agama. Misalnya mengapa
Islam begitu mudah diterima oleh masyarakat Jawa, karena ajaran-ajaran Islam
yang dibawa oleh para wali ketika itu bersifat sufistik, cocok dengan
kebudayaan Jawa yang memiliki tradisi dan laku kebatinan yang dalam. Ada
kesamaan antara ajaran Islam dan kebudayaan Jawa. Dialog antara Islam dan Jawa
bisa ketemu karena banyak memiliki kesamaan pandangan tentang kehidupan.
Sebaliknya Islam akan ditolak oleh masyarakat. Contohnya Irian. Karena
kebudayaan mereka tidak dapat dipisahkan dari binatang babi. Babi, bukan hanya
halal dimakan, tetapi juga sumber ekonomi, perangkat penting dalam upacara adat
mereka. Sementara Islam mengharamkan babi untuk dimakan dan dipelihara. Di sini
dialog antara agama (Islam) dan kebudayaan (Irian) mengalami hambatan, karena
perbedaan yang tajam dalam melihat binatang babi.[2]
Sunan Kudus menggunakan metode yang
sama seperti yang dilakukan oleh walisongo yaitu akulturasi Islam dengan budaya
local.[3]
kali ini penulis hanya akan menulis akulturasi yang berhubungan dengan hewan
suci hindu yakni sapi. Dalam sejarahnya Sunan Kudus pernah mendatangkan hewan
sapi dan mengikatnya di halaman masjid. Dalam kepercayaan hindu, sapi menempati
posisi hewan yang dihormati sehingga hanya orang-orang tertentu yang memiliki
sapi. Tujuan awal masyarakat datang ke masjid pada saat itu hanyalah untuk
menonton sapi yang memang jarang dipunyai itu. Ketika masyarakat telah
berkumpul, maka Sunan Kudus mulai menyampaikan wejangan ringan kepada
masyarakat. Yang tak kalah menarik adalah Sunan Kudus melarang jamaahnya untuk
menyembelih sapi, meski dalam Islam itu dihalalkan. Dan memang strategi ini termasuk tepat dengan
bukti banyak yang masuk Islam dengan metode Islamisasi ini. Sunan Kudus lebih
mengedepankan harmoni dan toleransi daripada konflik dalam menyiarkan Islam.
Dan adat ini bahkan tetap bertahan hingga sekarang, pada perayaan Idul Adha,
masyarakat Kudus tetap tidak menyembelih hewan sapi, kalaupun ada yang
berkurban berupa sapi, maka pihak penyembelih biasanya memanggil jagal (tukang penyembelih sapi) dari
luar Kudus, dan bukan dari masyarakat sendiri.[4]
Kepercayaan Mengenai Sapi
Gavah visvasyah matarah – sapi adalah ibu seluruh dunia. Sapi dikatakan sebagai ibu
dunia karena sapi mampu menghidupi dunia ini, segala yang ada dalam sapi dapat
digunakan. Sapi diibaratkan bumi yang siap menghasilkan seperti bumi akan
menghasilkan bahan – bahan makanan manusia seperti sayur, buah, dan lain
sebagainya. Begitu juga dengan sapi yang siap menghasilkan susunya setiap hari,
susu tersebut di konsumsi oleh seluruh umat manusia di dunia ini. selain itu,
sapi juga merupakan wahana Deva
Siva yang bernama Nandini, dan sapi
juga merupakan hewan peliharaan Avatara Krsna.
Oleh karena itu, sudah sepatunya umat Hindu menghormati sapi dan pantang
untuk memakan daging sapi, karena sapi sangat dihormati oleh umat Hindu. Inilah
yang melatar belakangi penulis tertarik untuk mengangkan topik ini dalam sebuah
paper yang berjudul “Keagungan Sapi dalam Budaya Hindu (Konsep Totemisme dalam Teologi dan Filsafat
Hindu).[5]
Sapi
memiliki kelebihan dari hewan – hewan lain dan dianggap suci, sapi juga
dikatakan bahwa induk atau ibu dari semua hewah yang ada di dunia ini. Sapi
banyak memberikan manfaat kepada umat manusia, sapi memberikan susunya kepada
manusia dan dikatakan sebagai ibu karena setiap saat memberikan asinya kepada
manusia. Selain susunya kotoran dari sapi pun sangat bermanfaat yaitu digunakan
sebagai pupuk yang dapat menyuburkan bumi pertiwi. Masyarakat Hindu yang ada di
India sangat menghormati sapi, bahkan mereka yang mendalami spritual Hindu amat
berpantangan makan daging sapi. Sejak turunnya Avatara Krsna, sapi sudah sangat
dihormati. Dalam kitab Purana yang tergolong Visnu Purana atau Satvika Purana disebutkan Krsna sebagai “Gopala” artinya
pelindung sapi.[6]
Dalam
buku keagungan sapi menceritakan para Gopi sendiri adalah para
peternak pengikut Krsna yang mengembala sapi. Sri Krsna sebagai pengembala sapi
adalah lambang hubungan antara alam semesta dan segala isinya dengan Tuhan. Sri KrsnaAvatara
Tuhan Yang Maha Esa yang berfungsi sebagai pelindung dan pemelihara alam
semesta ini. Sedangkan sapi yang digembala oleh Sri Krsna tidak lain adalah lambang
alamsemesta ini. Dan para Gopi adalah manusia
pengikut ajaran Veda yang wajib ikut menjaga
alam semesta ini untuk kebahagiaan hidup lahir dan bathin. Susu sapi yang di nikmati oleh para Gopi di Brindavana adalah susu
lambang dari pada hasil bumi atau hasil
alam berupa tumbuh – tumbuhan sebagai sumber makanan utama manusia. Brindavana
adalah kerajaan di mana Nanda sebagai raja dan Yasoda sebagai permaisuri. Di
kerajaan inilah Sri Krsna waktu kecil dipelihara
agar tidak diketahui oleh Raja Kangsa,
paman Sri Krsna, yang
ingin membunuhnya, karena ada suatu sabda Tuhan bahwa Raja Kangsa akan dibunuh oleh Putra Devaki yang kedelapan. Di
kerajaan Brindavana inilah sapi – sapi disayang, dihormati, dipelihara, dengan
penuh kasih sehingga menghasilkan susu berlimpah, sumber makanan penduduk. Para Gopi di Brindavana ini adalah
rakyat yang tidak berpendidikan tinggi, namun lugu, penuh dengan rasa bakti
pada Tuhan, jujur dan tekun merawat sapi – sapi yang dilindungi oleh Sri Krsna. Keadaan
para Gopi di Brindavana ini, adalah
suatu teladan bagi mereka yang ingin mencapai kesempurnaan hidup lewat jalan
bhakti dan pengabdian kepada Tuhan. Pengabdian kepada Tuhan adalah dengan jalan
merawat sapi alam semesta ini yang merupakan sember kehidupan semua mahluk.
Masyarakat Hindu yang ada di
Indonesia pada umumnya, khususnya Bali menggunakan sapi sebagai simbol dalam
upacara Pitra yadnya yaitu upacara Ngaben yang menggunakan sapi atau
lembu menjadi sarana yang sangat penting dalam pembakaran jenazah. Dalam hal
ini lembu tersebut adalah lambang alam semesta atau bumi. Akan tetapi didalam
kehidupan umat Hindu Bali belum paham akan penghormatan kepada sapi. Banyak
umat Hindu yang tidak menghormati sapi seperti pada saat membajak sawah sapi
dipukul, ditendang, dipaksa untuk membajak sawah, bahkan lebih parah lagi masih
ada yang membunuh sapi dan memakan daging sapi.[7]
Kuliner
sebagai Sebuah Seni
Pengertian kuliner adalah hasil
olahan yang berupa masakan berupa lauk-pauk, panganan maupun minuman. Kuliner
tidak terlepas dari kegiatan masak-memasak yang erat kaitannya
dengan konsumsi makanan sehari-hari. Kata kuliner merupakan unsur serapan
bahasa Inggris yaitu culinary yang berarti berhubungan
dengan memasak. Sedangkan orang yang bekerja di bidang kuliner disebut koki
atau chef.[8] Sedangkan untuk definisi
seni sangatlah bermacam-macam, namun penulis sepakat dengan definisi seni yang
disampaikan oleh Alexander
Baum Garton yakni seni adalah
keindahan dan seni adalah tujuan yang positif menjadikan penikmat merasa dalam
kebahagiaan.[9]
Dari sinilah penulis memiliki pendpaat bahwa kuliner merupakan sebuah seni,
dimana dalam penyajian setiap olahannya memiliki cara-cara tersendiri. Sehingga
penikmat pun akhirnya memiliki kesan keindahan dan kenikmatan sendiri dalam
setiap merasakan kuliner.
Sate Kerbau
Khas Kudus
Sejarah Sate
Kata "sate" atau
"satai" diduga berasal dari bahasa
Tamil. Diduga sate diciptakan oleh pedagang makanan jalanan
di Jawa sekitar awal abad ke-19, berdasarkan fakta bahwa
sate mulai populer sekitar awal abad ke-19 bersamaan dengan semakin banyaknya
pendatang dari Arab dan pendatang Muslim Tamil
dan Gujarat dari India ke Indonesia. Hal ini pula yang menjadi alasan
populernya penggunaan daging kambing dan domba sebagai bahan sate yang disukai
oleh warga keturunan Arab. Teori lain mengusulkan bahwa asal kata sate berasal
dari istilah Minnan-Tionghoa sa
tae bak yang berarti tiga potong
daging. Akan tetapi teori ini diragukan karena secara tradisional sate terdiri
atas empat potong daging, bukan tiga. Dan angka empat dianggap bukan angka yang
membawa keberuntungan dalam kebudayaan Tionghoa.
Dari Jawa, sate menyebar ke seluruh kepulauan Nusantara yang menghasilkan beraneka
ragam variasi sate. Pada akhir abad ke-19, sate telah menyeberangi selat Malaka
menuju Malaysia, Singapura, dan Thailand, dibawa oleh perantau Jawa dan Madura
yang mulai berdagang sate di negeri jiran tersebut. Pada abad ke-19 istilah
sate berpindah bersamaan dengan perpindahan pendatang Melayu dari Hindia
Belanda menuju
Afrika Selatan, di sana sate dikenal sebagai sosatie. Orang Belanda juga membawa hidangan ini dan
banyak hidangan khas Indonesia lainnya ke negeri Belanda, hingga kini seni
memasak Indonesia juga memberi pengaruh kepada seni memasak Belanda. Sate ayam
atau sate babi adalah salah satu lauk-pauk yang disajikan dalam hidangan Rijsttafel di Belanda.[10]
Tentang Sate Kerbau Kudus
Sate yang terbuat dari daging kerbau. Daging disajikan tidak
dalam bentuk biasanya, tetapi daging dipotong dan dicincang halus dan
dilekatkan pada batang sate dengan bumbu kecap, kelapa (srundeng) dan kacang,
rasanya mirip dengan dendeng. Ada juga yang mengolahnya dengan cara memotongnya
kecil-kecil lalu memukul-mukulnya hingga halus lalu dibumbui dan dimasak
terlebih dahulu, baru lalu dibakar Begitulah cara mengolah kerbau hingga bisa
menjadi sate yang nikmat. Untuk bumbunya, bumbu dari sate ini juga unik. Sate kerbau memakai bumbu
kacang seperti sate ayam, tetapi lebih encer. Bumbunya terbuat dari campuran
kacang tanah, serundeng, bawang merah, bawang putih, dan kentang yang
dihaluskan. Untuk harga satu porsi sate Kerbau berkisar antara Rp15 ribu hingga
Rp 20 ribu. Sekarang ssate kkerbau Kudus telah
menyebar ke seantero Nusantara dan bahkan hingga ke luar negeri.[11]
Islamisasi Dalam Sate Kerbau Kudus
Sate Kerbau berbeda dengan kuliner khas Kudus lain, misalnya Soto
Kudus dan Lentog Tanjung. Sate Kebo, begitu sebutan dalam Bahasa Jawa-nya,
memiliki pesan arif dalam menghadapi perbedaan. Kudus yang terkenal dengan
dengan sebutan kota santri ini memiliki cerita panjang mengenai sejarah sate
kerbau. Kudus yang kala itu menjadi tempat penyebaran agama Islam, oleh Sunan
Kudus dilarang menyembelih daging sapi. Larangan tersebut merupakan simbol
penghargaan dan toleransi beragama, sebab sapi dinilai sebagai binatang suci
oleh ajaran Hindu sebagai agama mayoritas Kudus sebelumnya.
Penghargaan tersebut lestari
hingga kini. Sate kerbau sangat popular dengan cerita historisnya. Terlihat
banyak deretan warung yang menyajikan menu khas tersebut. Salah satunya Sate
Kerbau 57 yang beralamat di Jalan Kenari Kudus. Warung yang berdiri sejak tahun
1976 ini didirikan oleh Kusrin. Hingga sekarang, warung sate kerbau tersebut
masih berjalan dan dikelola oleh anak keduanya yakni Siti Rahmah. Menurut
pemilik, keistimewaan sate kerbau, selain karena berbau tradisi, yakni karena
di kota lain sulit ditemui sate semacam ini. Oleh karenanya, warung tersebut
bahkan pernah dikunjungi oleh warga luar daerah seperti Jakarta, bahkan
Papua. Asrofie Istadie, salah satu penikmat dan pengunjung warung ini
mengungkapkan, Menurutnya, Sate Kerbau memiliki rasa dan tekstur daging yang
unik dan beda dari lainnya. Mengenai rasa pun tidak kalah lezat dari sate ayam
atau kambing. “Apalagi kalau masih hangat, benar-benar keluar rasa daging
bercampur rempah. Lezat sekali. Mak Nyuss,” ujarnya dengan gaya khas tayangan
kuliner Bondan Winarno.[12]
Penutup
Kudus punya
cerita, dalam kajian akulturasi seni local dan Islam, kuliner juga menjadi
bahas perbincangan yang asik. Memang dalam sisi akademisi, Kudus belum begitu
kaya seperti halnya Yogyakarta. Banyak hal di Kudus yang masih belum terungkap,
sehingga itu menjadikan kegelisahan sendiri bagi penulis yang notabenenya besar
di Kudus. Jujur, penulis cukup kesulitan dalam menggali sejarah Sejarah Kudus
dalam lingkup pustaka. Terlebih lagi, kajian spesifik seperti kuliner khas
Kudus sebagai cipta rasa Islami dalam pandangan sejarah.
Kerbau
merupakan pengganti daging sapi yang dikonsumsi oleh masyarakat kudus.
Kebiasaan ini turun-temurun hingga masa kini, bahkan penulis sendiri mengalami
hal ini. Dalam kehidupan penulis, tidak pernah menyantap masakan sapi hingga
penulis menginjakkan kaki di Yogyakarta. Ketiadaan sate sapi di daerah Kudus
ternyata tidak lepas dari unsur Islamisasi Sunan Kudus yang telah berlewat
berabad tahun yang lalu. Dalam sate kerbau terkandung rasa toleransi dan
harmoni yang indah dengan kaum agama lain selain Islam, karena di situ
mengandung penghargaan terhadap hewan suci hindu. Walaupun masyrakat hindu
sekarang tidak menjadi masyarakat mayoritas lagi di daerah Kudus, namun adat
ini tetap bertahan. Praktek nyata yang terlihat adalah pada saat penyembelihan
Idul Adha pun jika ada masyarakat Kudus yang menyumbangkan hewan sapi untuk
disembelih, maka haruslah memanggil tukang jagal dari luar daerah Kudus untuk
menyembelihnya sebagai pelestarian adat memulyakan hewan sapi ini.
[1] Khadziq, Islam dan Budaya Lokal, Teras:
Yogyakarta, 2009, hal. 28-29. Dalam literatur lain juga dijelaskan lebih lengkap mengenai definisi
kebudayan, ialah sistem yang terdiri atas ide-ide, gagasan, kelakuan sosial,
dan benda-benda kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia untuk
mencapai sebuah kemajuan, baik dalam lingkup individu dan kolektif, maupun
bentuk yang dimanifestasikan dalam hasil penciptaan manusia. Manusia akan
menemukan dan menghasilkan kebudayaannya, ketika masing-masing manusia
memainkan peran kratifitasnya untuk mewujudkan apa yang ada dalam fikirannya
menjadi alam realitas. Lihat, Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Budaya Lokal: Kearifan dan Akomodasi Islam atas
Tradisi Masyarakat, Kalimedia: Yogyakarta, 2015, hal. 134.
[2] Pojka Akademik
UIN Sunan Kalijaga, Islam Budaya Lokal,
UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2016, hal. 15-16.
[3] Akulturasi menurut kamus
antropologi adalah pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur
kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang saling
berhubungan atau saling bertemu. Konsep akulturasi terkait dengan proses sosial
yang timbul bila satu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan
dengan kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing ini lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri. Dalam konsep akulturasi ini Islam
diposisikan sebagai kebudayaan asing dan masyarakat sebagai lokal sebagai
penerima kebudayaan tersebut. Lihat, Ibid.,
hal. 16.
[4] Devi Ciptyasari, http://deviciptyasari.blogspot.co.id/2014/01/sunan-kudus-dan-strategi-dakwah-islam.html, 07
Januari 2014, diakses pada Sabtu, 17 Desember 2016, Jam
10.42 WIB.
[8] Riyanto Arudam, http://www.kanalinfo.web.id/2015/07/pengertian-kuliner.html, Minggu, 05 Juli
2015, diakses pada Jumat, 16 Desember
2016, jam 23.00.
[9] http://www.artikelsiana.com/2015/09/pengertian-seni-fungsi-macam-macam-seni.html,
diakse pada Jumat, 16 Desember 2016, jam 23.15 WIB.
[10] https://id.wikipedia.org/wiki/Sate#Asal_mula. Diakses
pada Jumat, 16 Desember 2016, jam 23.20 WIB.
[11] https://id.wikipedia.org/wiki/Sate_Kerbau dan Ruli Aditio, http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kuliner/2010/04/02/48/Sate-Kerbau-Pak-Min-Jastro-Rasanya-Melegenda,
02
April 2010, diakses pada Sabtu, 17 Desember 2016,
jam 10.00 WIB.
[12] Nabila, http://infomuria.umk.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:pesan-toleransi-dari-sate-kerbau-kudus&catid=1021:pesan-toleransi-dari-sate-kerbau-kudus&Itemid=616, diakses pada, Sabtu 17 Desember 2016, pada jam 11.00 WIB.